Jumat, 10 Desember 2010

Ketergesaan yang Diwajibkan

 وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ 
“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disiapkan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imran [3]: 133).


Ketergesaan dalam hampir semua hal akan berakibat buruk bagi para pelakunya, bahkan ada sebuah kalimat yang sering kita dengar “ketenangan adalah kebahagiaan dan ketergesaan adalah penyesalan.” Namun ada ketergesaan yang diwajibkan, bukan tergesa-gesa tanpa arah dan tujuan, bukan tergesa-gesa tanpa mengindahkan aturan, tapi tergesa-gesa dalam melakukan amal shalih. Tasarru’, atau ketergesaan dalam beramal shalih sangat dianjurkan dalam Islam, bahkan akan menjadi wajib.


Seruan untuk tergesa-gesa dalam menjemput ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) dan menjemput surga-Nya, bukan seruan yang menjerumuskan manusia dalam penyesalan dan kehancuran. Bahkan seruan itu memberi jalan kepada kebahagiaan dan surga, membawa manusia kepada antusiasme dan semangat juang yang tinggi. Seruan itu memberikan jalan untuk mencapai syahadah.

Seruan itu ditujukan bagi orang-orang yang bertakwa, orang-orang yang digambarkan oleh Khalifah Umar Radliyallahu ‘anhu (RA) seperti orang yang berjalan di jalan penuh onak dan duri, yang siap menancapi kaki-kaki telanjang yang menginjaknya. Orang-orang yang digambarkan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib sebagai manusia yang mengimani al-Qur’an yang diturunkan (at-tanzil), dan ridha terhadap ketentuan Allah di dunia (qalil), dan orang yang mempersiapkan diri untuk perjalanan yang jauh menuju akhirat (rahil).

Menyambut ampunan, menyambut surga dan menyambut seruan Allah SWT, harus dilakukan dengan segera, lebih cepat dari mengantarkan jenazah ke liang lahat, lebih cepat dari membayar hutang, bahkan harus lebih cepat dari seorang mempelai mendatangi pasangannya.

Tindakan bersegera dalam menyambut ampunan akan berujung pada puncak kebahagiaan, kenikmatan tiada-tara dan kepuasan lahir dan batin, karena balasanya adalah akhirat yang kekal dan abadi. Sementara ketergesaan pada urusan lain seringkali berujung pada penyesalan, keburukan, atau hanya memberi manfaat yang sangat sedikit, di dunia semata. Sungguh sangat berbeda antara bumi dan langit. Seruan serupa juga dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) yang mulia, manusia yang selalu menyambut dengan gegap gempita setiap panggilan Allah SWT, bersama sahabat-sahabat yang mulia.

Sebuah seruan yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Bersegeralah kalian dalam amal shalih, karena akan terjadi fitnah seperti sepotong malam yang gelap gulita, seorang laki-laki beriman di pagi hari, menjadi kafir di sore hari, dan seorang laki-laki beriman di sore hari, menjadi kafir di pagi hari, menjual agamanya dengan kekayaan dunia.” (Riwayat Muslim, Al-Albani mengatakan bahwa lafadh Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).

Seruan yang dilakukan Nabi SAW kepada sahabat-sahabatnya, termasuk kita hari ini, menunjukkan betapa besar akibat yang ditimbulkan dari menunda atau tidak bersegera dalam beramal shalih. Sehingga akhirnya fitnah mendahuluinya, huru-hara, dan peristiwa buruk yang terjadi di dunia, seperti sepotong malam yang gelap gulita. Sepotong malam, yang menjadikan seorang beriman pada pagi hari, dan kafir pada sore harinya, atau beriman pada sore dan kafir pada pagi hari, hanya karena harta dunia yang tidak seberapa, dan menjual kekayaan terbesarnya yaitu keimanan.

Kita akan kembali sejenak, kembali pada sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Mengingat kembali ketika perang Uhud berkecamuk, perang terbesar dalam sejarah perkembangan Islam setelah perang Badar. Ketika seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Bagaimana menurut engkau (wahai Nabi) jika saya mengatakan, di manakah saya?” Beliau menjawab, ‘Di surga.’ Maka pemuda itupun melemparkan kurmanya yang ada di tangannya, kemudian bertempur hingga ia meninggal.” Seorang pemuda beriman, pemuda pemberani, pemuda yang tidak mau lagi menunda sedikit pun untuk menjemput surganya walau hanya sekedar mengunyah kurma. Pemuda yang tidak ingin kesempatannya berlalu lalu kemudian hilang. Seorang yang tidak terkalahkan oleh bisikan nafsunya untuk berhenti, menunda dan atau bahkan meninggalkannya. Ia berhasil mengendalikan dirinya, ia sangat tahu kapan ia harus bersabar dan kapan harus terburu-buru. Ia berhasil mengalahkan keinginannya untuk menikmati manisnya kurma dan bersegera menuju manisnya surga yang tiada-tara.

Lalu apakah kita akan menunda hingga usia menjelang? Usia yang mengaburkan pandangan mata kita, melemahkan tulang punggung kita, memutihkan rambut kita dan merontokkan gigi kita? Atau apakah kita menunda hingga kefakiran menimpa kita?

Ketika kita tidak mampu lagi menginfaqkan harta, walau hanya satu rupiah kepada orang lain, ketika kita sedemikian sibuk bekerja. Bekerja dan bekerja karena hasil yang kita peroleh tidak mencukupi untuk mengganjal perut kita, atau keluarga kita?

Ataukah kita menunggu hingga penyakit menggerogoti tubuh kita? Penyakit yang membuat kita diam tak berdaya, kaku, kelu dan lemah tak bertenaga. Penyakit yang membuat kita tak mampu berdiri dengan tegak menyembah Allah, penyakit yang membuat orang lain mengasihani kita. Ataukah kita menunggu hingga kekayaan berpihak kepada kita, ketika semua dapat terbeli dengan uang, ketika setiap detik kita bernilai jutaan rupiah, ketika semua manusia tersenyum menyapa karena segan dengan kekayaan kita? Atau ketika kekayaan itu membuat diri kita sangat sibuk dan lupa segalanya?

Ataukah kita menunggu datangnya peristiwa terburuk yang ditunggu? Datangnya Dajjal, yang berjalan di muka bumi menipu menusia, mengatakan kebenaran sebagai kebatilan, dan kebatilan sebagai kebenaran. Maka nerakanya adalah surga kita, dan surganya adalah neraka kita.

Katakan tidak! Kita tidak akan menunggu, hingga penyesalan terdalam akan muncul dari diri kita. Kita tidak akan menunda hingga usia tua, hingga kekayaan atau kemiskinan menghampiri, hingga sakit menggerogoti, hingga kondisi prima dan fit menjadi lemah tanpa daya.

Saat ini adalah saat terbaik kita. Semuda apapun kita, setua apapun kita, semiskin apapun kita, sekaya apapun kita, sesehat apapun kita, sesakit apapun kita. Saat ini adalah saat terbaik kita, untuk menyambut seruan Allah dengan segera, untuk menyambut surga kita yang luasnya seluas langit dan bumi.

Saat ini adalah saat terbaik untuk menyambut ampunan Allah. Inilah saat kita berlari, bersegara dan terburu-buru menyambut semua itu. Tanpa kita sisakan sedikit pun ruang untuk kemalasan, menunda dan berleha-leha. Itulah salah-satu ciri manusia bertakwa, manusia yang selalu menyambut dengan segera seruan Allah, semoga kita termasuk di antara mereka. SUARA HIDAYATULLAH NOPEMBER 2008 *Aminuddin Imam Muhayi, Lc, SHI, staf atase Kedutaan Arab Saudi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar