Jumat, 03 Desember 2010

Kekuatan Doa

eramuslim - Dahiku mengernyit ketika menatap angka-angka di rekeningafschriften –laporan saldo bank yang biasa kuterima dua pekan sekali itu. Gawat! Bisa gagal rencana pulang kampung. Dengan jumlah sekian euro tentu tak cukup membeli tiket pesawat untuk kami bertiga, bahkan dengan jadwal last minute dari maskapai yang termurah sekalipun. Padahal sudah sebulan ini bayangan wajah orang tua, dan sanak keluarga di kampung sudah menghiasi mimpi-mimpi tidurku.
Rindu. Mereka pun ingin melihat cucunya yang lahir jauh di rantau.

Rasa-rasanya sejak aku tidak lagi menerima beasiswa, aku dan suamiku telah berusaha untuk menekan biaya hidup dengan mengandalkan gaji guru suamiku yang berada dibawah UMR-nya Belanda. Tapi memang dasarnya biaya hidup disini semakin hari semakin tinggi, apalagi sejak peralihan mata uang gulden ke euro, harga-harga jadi makin menggila.

***

“….Gimana Neng, jadinya pulang bulan apa?” suara Mamah terdengar berlapis-lapis dalam jarak belasan mil diujung sana, di pinggir kota Bandung. Maklum, untuk menghemat pulsa aku menggunaan kartu telepon interlokal yang termurah, dengan resiko kualitas suara yang rendah tentunya. “Belum jelas, Mah. Nantilah Eneng kasih tahu lagi. Mah, udah dulu ya. Rauda mulai nangis nih … Assalamualaikum !” terburu-buru aku memutuskan hubungan telpon dengan Mamah, bukan karena tangis Rauda, tetapi takut Mamah tahu kalau suaraku mulai tersekat menahan tangisku. Aku menghambur ke tempat tidur, menutup wajah ini erat dalam bantal, menumpahkan kegalauan hati yang tertahan sejak tadi. Sementara Rauda, bayiku yang berumur 5 bulan, menatapku dengan heran dan gelisah, sebentar kemudian diapun ikut menangis…

***

“Ayah, coba lihat nih rekeningafschriften-nya. Gimana ini, kita nggak bisa pulang dengan sisa uang segini. Ayah… Ayah ngetik apa sih dari kemarin nggak selesai-selesai, dengerin dong kalo Bunda lagi bicara!” nada suaraku meninggi. “Ehm…” gumam suamiku, yang masih tampak asyik mengetik di komputer tua kami. “Kenapa sih Ayah nggak pernah mikirin gimana kita pulang. Coba dong Ayah cari kerja sampingan, schoonmaak, loper koran, cuci piring di restoran atau apa aja deh… atau kita jual lah beberapa barang-barang kita ke tweedehands… dari dulu Bunda kan bilang…” bla-bla-bla aku mulai meracau, dan akhirnya menangis. Suamiku menghampiriku, dengan lembut dia membelaiku dan berbisik, “Istighfar Bunda, yang sabar... Insya Allah, kalau niat kita pulang kampung adalah karena ingin menyambung tali silaturahmi dengan sanak keluarga dan memang ada rezekinya si Rauda, Allah pasti berkenan memudahkannya. Perbaiki kualitas doa kita selama ini, karena apapun kesulitan kita tidak ada yang mampu menolong kecuali atas izinNya.

Ayah sedang membuat beberapa artikel dan berusaha mengirimnya ke beberapa surat kabar.” Dia melihat ke arah jam dinding, sudah masuk waktu maghrib meskipun tanpa ditandai suara adzan. “Mari kita sholat,” ajak suamiku. Kami sholat berjama'ah dan sesaat kemudian tenggelam dalam dzikir dan doa - bermunajat kepadaNya.

***

Beberapa hari kemudian, aku menangis lagi. Kali ini bukan tangis kesal atau kecewa, tapi tangis bahagia. Dalam pelukan suamiku, tak putus-putusnya aku bertasbih, mengucapkan rasa syukurku pada Allah Swt. Pulang mengajar tadi, suamiku datang dan membisikkan kabar gembira itu ke telingaku. Dia mendapat tugas mengikuti penataran guru di Jakarta akhir bulan ini, dan segala biayanya ditanggung oleh sekolah tempat suamiku mengajar. Meskipun tanggungan biaya itu hanya untuk satu orang, akan tetapi setelah menghitung–hitung tabungan kami, ternyata cukup memungkinkan bagi kami untuk pulang ke kampung halaman bersama-sama. Alhamdulillah, Allah telah mengabulkan doa-doa kami, sehingga kami dapat dipertemukan dengan sanak keluarga. Aku merasakan, sungguh, betapa besar sebuah kekuatan doa. Laa haula walakuwwata illa billah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar