RESENSI BOOK


Judul : AL-QURAN DAN LAUTAN
Penerbit : 'Arasy Mizan
Tahun : 2007

Dalam buku ini mengandaikan diskusi antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan. Bagaimana hubungan antar keduanya? sejauhmana kebenaran al-Qur'an dan lautan diteropong?, Apa data empiris dari ilmu pengetahuan yang bisa menopang keberadaan ayat-ayat dalam Al-Quran? Apa yang harus dilakukan umat Islam Indonesia? Lalu bagaimana anggapan yang seharusnya kita bentuk atas lautan itu?



Dari 6.236 ayat Al-Quran, sedikitnya ada 40 ayat yang secara khusus membicarakan laut, lautan, dan kelautan. Pada beberapa tempat, kata laut yang digunakan dimaksudkan secara simbolis untuk menunjukkan keluasan, terutama dalam konteks pemikiran dan ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, ayat-ayat Al-Quran tentang lautan ini menunjukkan kepada kita bahwa konstatasi Al-Quran tentang lautan ternyata banyak memiliki kesesuaian dengan hasil observasi dan temuan ilmu pengetahuan modern bidang kelautan. Tetapi tidak semua temuan sains modern sejalan dengan pernyataan Al-Quran.

Dengan pendekatan "paralelistik", Agus S. Djamil mencoba mencari kesejajaran atau paralelitas antara fakta-fakta empiris temuan sains dan ayat-ayat Al-Quran. Buku ini menawarkan metode dan pendekatan bahwa temuan sains dan ayat Al-Quran sesungguhnya menyajikan penjelasan yang saling melengkapi dalam memahami dan menyingkap misteri alam, terutama lautan. Buku ini sangat penting bukan saja bagi para peminat kajian kelautan dan ilmu kebumian (Earthscience), melainkan juga bagi siapa yang ingin memperdalam pemahaman tentang ayat-ayat yang mengungkap tentang pelbagai fenomena alam dan ilmu pengetahuan.

Dialektika Al-Quran dan Lautan sangat menarik dan sekaligus mencengangkan. Ayat yang menuliskan kata laut lebih banyak dibandingkan dengan kata darat. Padahal Al-Quran diturunkan di jazirah arab yang notabene dikelilingi oleh padang pasir. Kenapa tidak banyak bercerita banyak padang pasir sendiri dibandingkan dengan laut. Kata laut berjumlah 33 kali di 32 ayat dan kata darat hanya 13 ayat. Ini mirip dengan analisa bahwa bumi itu sering disebut sebagai planet biru yang hampir 72 %-nya diselimuti lautan dan 28 % daratan.



Anggapan Agus, itulah yang jadi dasar bahwa laut itu merupakan satu hal yang paling penting (some thing really important) dengan penekanan tertentu. Seperti surat al-Jâsyiyah ayat 12 "Allah menundukkan lautan untukmu, supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seidzin-Nya dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya, dan mudah-mudahan kamu bersyukur". Laut memang telah ditundukkan untuk kita, dan kemudian kita diminta untuk mencari sebagian karunia-Nya di sana.

Kalau dianalisa dengan metodologi fikih (ushûl al-fiqh), buku ini bisa jadi landasan hukum, agar umat islam –khususnya di Indonesia-- bisa menggali dan memanfaatkan laut sebagai sumber rizki. Dalam surat an-nahl ayat 14 terdapat dimensi kelautan yang sangat bagus, 'dan Dialah Allah yang menundukkan lautan untukmu agar kamu dapat memakan daripadanya dzat yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan lautan itu perhiasan (mutiara)'. Semua wilayah lautan yang bersuhu panas akan memungkinkan untuk membudidayakan mutiara. Indonesia itu merupakan tempat yang paling baik untuk membudidayakan mutiara.



Adalah penelitian Jerry Allan dan Bridge yang keduanya ahli kelautan handal, bahwa pusat keanekaragaman hayati di Indonesia dinamakannya ‘parrol tri angle’ yang terletak antara wilayah maluku, banda, dan sulawesi-NTB. Semakin jauh dari wilayah itu, kwalitas keanekaragaman hayati semakin rendah. Begitu juga dalam arus arlindo yang terjadinya percampuran air laut dari samudera pasifik membuat yang namanya ‘nutrian and richment’ yakni pengkayaan unsur hara dari nitrogen, pospor dan lainnyas selalu ada di laut kita. Secara teoritis hal ini akan menghasilkan kesinambungan kekayaan tersebut, seperti halnya keberadaan minyak di arab saudi yang terus mengalir.



Pendapat ini setidaknya menepis anggapan bahwa Islam bukan hanya mengajarkan teristerial dan kontinental atau darat, akan tetapi lebih banyak bicara lautan dibandingkan daratan. Begitu juga kalau dianalisa ada hadits yang bemakna 'tuntutlah ilmu walau ke negeri cina', jangan-jangan trackle-nya bukan hanya melalui darat tapi juga melalui lautan. Yang menarik diungkapkan juga dalam buku ini, bahwa jauh sebelum kolombus, ternyata yang mendarat di benua amerika itu ada khaskhas ibnu said ibnu aswad.



Terdapat 'penafsiran baru' tentang al-bahrul masjûr', dengan makna 'laut yang dipenuhi oleh api'. Pendapat ini sepanjang penelusuran literatur belum pernah muncul dalam beberapa karya tafsir. Begitu juga 'lulu wal marjân' dan 'al-bahrain', yang dianggap dua laut bukan laut dan sungai. Juga kata 'Masjûr' ditafsirkan beragam oleh ulama, meski pada umumnya ditafsirkan dengan 'bergelora apimu', karena salah satu sifatnya kalau dia berkobar bagaikan begelombang.



Itu semua disebabkan dari segi bahasa penafsiran-penafsiran itu semua bisa diterima, apalagi kita mengetahui bahwa satu kata bisa diartikan dalam pengertian hakikinya dan metafor (perumpamaan). Laut dan sungai saja dari kalimat 'bainahuma barzahun la yabghiyân' secara metaforis bermakna 'bercampur orang kafir dengan orang mukmin, tapi ada pemisah antara keduanya yakni nilai-nilai agama'. Para sufi akan menafsirkan 'bahrain' bukan lautan dan sungai, tapi orang yang ahli geo-secience akan lain. Nah, di sinilah signifikansi buku ini dengan memposisikan Al-Quran sesuai dengan kecendrungan dan atau disiplin penulisnya.


Mudah-mudahan buku ini bisa memberikan ilham, semangat, dan menjadi gregetan untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan kita. Ini dilakukan untuk meraih kemakmuran dan kemajuan bagi bangsa Indonesia, di sektor kelautan dengan ridho Allah swt.(MSadili)