Jumat, 10 Desember 2010

kiat bersyukur

Bagaimanakah kita menyikapi nikmat yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala selama ini? Apakah kita banyak bersyukur, atau malah kufur?


Kalau boleh jujur, rasanya syukur kita dalam kehidupan sehari-hari masih belum optimal. Buktinya, banyak ucapan dan sikap kita yang mengandung pengingkaran atas nikmat.


Terkadang sejak bangun tidur, wajah kita sudah ditekuk. Nafas yang keluar bukan kelegaan, tapi desah keluhan. Kata yang terlontar bukan pujian, tapi umpatan. Bekerja pun dengan cemberut.

Padahal saat kita tidak bersyukur, hati kita terasa sempit dan hidup semakin sumpek. Segalanya juga terasa suram. Kita pun kehilangan kekuatan untuk meraih yang terbaik dalam hidup ini. Karena itu kita sangat perlu menghayati bagaimana bersyukur yang benar.

Memuji Allah Ta’ala

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) pernah bertanya kepada seorang laki-laki, “Bagaimana keadaanmu pagi ini?”

“Baik,” jawab laki-laki itu.

Namun, Rasulullah SAW mengulangi lagi pertanyaannya. Begitu juga orang tersebut mengulangi jawaban yang sama.

Hingga pada yang ketiga kali laki-laki itu menjawab, “Keadaanku baik serta aku memuji syukur kepada Allah Ta’ala.”

Barulah Rasulullah SAW berkata, “Jawaban itulah yang aku inginkan darimu.” Bersyukur berarti menghargai nikmat yang telah kita terima dan memuji Allah Ta’ala sebagai Zat Yang Maha Pemberi nikmat. Namun, seringkali manusia tidak bisa merasakan nikmat itu, apalagi memuji Sang Pemberi nikmat.

Yang lebih sering muncul adalah keluhan tentang kekurangannya. Kurang ini dan kurang itu. Merasa badan sakit semua padahal hanya sakit sedikit. Sudah punya rumah tapi merasa sempit. Punya kendaraan namun merasa tidak memadai. “Apa yang mau disyukuri, segalanya serba kurang,” begitu dalih kebanyakan orang. Boleh saja seorang menginginkan sesuatu yang lebih baik. Memang hidup kita harus berkembang.

Tetapi, jangan sampai kita lupa mensyukuri yang telah ada karena diperbudak keinginan. Jika yang sudah ada saja disia-siakan dan yang diinginkan belum tentu didapat, kapan hidup akan bahagia?

Sebenarnya, dengan mulai mensyukuri yang ada, kita mengikat nikmat itu agar tidak lepas dan menumbuhkannya menjadi lebih banyak lagi. Tapi, bila menyia-nyiakannya dan mengeluhkan yang belum ada, sama saja menjerembabkan diri sendiri dalam kesengsaraan.

Resep Syukur Rasulullah

Ada kiat sederhana dari Rasululllah SAW agar kita bisa bersyukur, yakni selalu melihat orang yang berada di bawah dalam urusan duniawi. Tapi, dalam amal kebaikan, lihatlah orang yang berada di atas. Ini karena kemuliaan seseorang tidak diukur dari dunia yang dimiliki, tetapi dari amal kebaikan yang dilakukan. Dengan mengikuti kiat hakiki ini, kita akan menghargai karunia Allah Ta’ala dan memuji-Nya.

Ketika seseorang tidak puas dengan rumahnya, itu karena ia membandingkan dengan rumah tetangga yang lebih luas. Saat pandangannya mendongak ke atas, orang pun dengan mudah memandang rendah dan melupakan apa yang telah dimiliki.

Maka, sesekali kita perlu mengunjungi orang-orang yang tinggal di gubuk sempit. Rasakan dan bandingkan keadaan kita dengan mereka. Kita pun akan merasakan betapa lapangnya rumah kita. Kalau kendaraan kita hanya sepeda motor, bersyukurlah betapa banyak saudara kita yang masih harus berjalan kaki. Jangan muram. Lihatlah banyak orang yang berjalan kaki masih tersenyum dan tertawa. Kenapa kita tidak tersenyum seperti mereka dan tidak memuji Allah Ta’ala hanya karena tak puas dengan kendaraan kita?

Kalau kita tidak mensyukuri dengan benar apa yang ada di tangan, bagaimana berharap sesuatu yang belum dipegang? Itulah sebabnya Allah Ta’ala menegur manusia dalam firman-Nya, ”Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur,” (Al-Baqarah [2]: 243). Terkadang seseorang baru bisa bersyukur setelah ditimpa sakit. Padahal, tak perlu menunggu sakit agar rasa syukur itu bisa terucap dari mulut kita.

Rasulullah SAW kerap menganjurkan umatnya agar menjenguk dan melihat orang sakit. Dengan cara ini kita bisa merasakan bahwa sesungguhnya kita lebih beruntung dari orang-orang itu.

Bayangkan kalau kita dalam keadaan sakit seperti mereka, makan terasa tidak enak, tidur pun tidak nyenyak. Rasanya, tinggal di rumah sakit mewah dengan segala fasilitasnya tak bakal membuat kita betah berlama-lama. Sekadar jalan saja kita harus dipapah.

Firman Allah Ta’ala, ”Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku,” (Al-Baqarah [2]: 152). Bila kita menyadari betapa besar karunia-Nya untuk kita, maka lisan kita akan gemar memuji-Nya. Saat kita memuji-Nya, Dia pun mengingat kita dengan melimpahkan rahmat-Nya. Dada kita pun akan terasa lapang, dan rasa bahagia pun mengalir di hati. Alhamdulillah!

Beramal Saleh

Allah Ta’ala berfirman, ”Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 158)

Betapa banyak orang yang terpesona dengan nikmat tapi mengabaikan Sang Pemberi nikmat. Bahkan, banyak juga yang memanfaatkan pemberian-Nya untuk mendurhakai-Nya.

Berbagai nikmat membuatnya lupa diri. Maunya hanya bersenang-senang untuk mereguk kenikmatan duniawi saja. Yang dipikirkan bukannya menjalankan amanah tetapi bermegah-megahan.

Mereka lupa bahwa semua nikmat dan karunia itu adalah cobaan yang harus dipertanggungjawabkan. Semestinya kenikmatan itu membuatnya kian berhati-hati di hadapan Allah Ta’ala.

Firman Allah Ta’ala, ”Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya), (An-Naml[27]: 40)

Sedikit atau banyak, syukuri nikmat yang ada dengan benar. Yaitu, dengan melakukan amal saleh dan manaati-Nya.

Kalau nikmat yang sedikit saja kita tidak mampu syukuri, nikmat yang banyak justru akan menjadi penyebab datangnya azab dan laknat.

Firman Allah Ta’ala, ”Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu),” (At-Takatsur [102]: 8).

Ada satu lagi nikmat yang sangat besar yang harus kita syukuri. Yaitu, kekuatan agar kita bisa memanfaatkan segala nikmat dari Allah Ta’ala untuk melakukan amal kebaikan dan beribadah kepada-Nya.

Jika kita telah ditolong oleh Allah Ta’ala untuk bisa meraih nikmat tersebut maka berusahalah agar berbuat lebih baik lagi untuk Allah Ta’ala. Sehingga Allah Ta’ala berkenan memberikan kita rasa nikmat luar biasa ketika kita beribadah kepada-Nya.

Syukurilah rasa nikmat beribadah itu agar Allah Ta’ala berkenan menyambut kita sebagai hamba yang diridhai-Nya. Itulah jalan lurus dan sekaligus nikmat tertinggi yang diberikan kepada para Nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin yang senantiasa kita mohonkan pada Allah Ta’ala.

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Al-Fatihah [1]: 6-7) SUARA HIDAYATULLAH, NOPEMBER 2010 Wallahu a’lam bish-shawab. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar